

SALO 120 days of Sodom - kejinya manusia saat berkuasa
Bayanginnya begini:
Kita ada dalam ruangan agung, estetik, dengan cahaya remang pesona ala di lukisan di era Renaisans, dan... orang-orang duduk makan kotoran diliatin sambil cekakakan.
Selamat datang di Salo, or the 120 Days of Sodom — film yang tidak direkomendasikan untuk manusia berhati hello kitty, apalagi yang biasa nonton opera sabun percintaan.
Ini Bukan Film, Ini Ujian Mental
Disutradarai oleh Pier Paolo Pasolini, si penyair visual yang nekat bikin kita bertanya-tanya:
"Ini film apa penyiksaan batin?"
Salo diambil dari novel sadisnya Marquis de Sade, tapi latarnya dipindah ke Italia zaman fasis tahun 1944. Di sana, empat elite ‘spesial’ dengan titel nyentrik: Duke, Bishop, Magistrate, dan Presiden punya ide menculik 18 remaja dan menjadikan mereka kelinci percobaan dalam pesta sadisme 120 hari tanpa aturan.
Dan jangan bayangin ini kayak reality show ekstrim. Ini lebih kayak neraka versi arthouse.
Visual yang Bikin Bingung: Indah Tapi Pengen Muntah
Nah, ini yang bikin Salo beda dari film sadis kebanyakan: visualnya cakep banget! Tapi bukan keindahan visual yang bikin sumringan kaya, misalnya pemandangan gunung—tetapi lebih ke keindahan yang membuat dada dan emosi bergetar.
Kamera tenang, framing simetris, pencahayaan rapi, kostum klasik.
Memang yang namanya film yang bagus, visual harusi begini.
Tapi di Salo, adegan banyak yang gak nyampe ke nalar, brutal. Meresahkan sukma, ngaco buat mata dan nihil empati.
Gini deh, di meja ada piring mewah berisi makanan... tapi isinya kotoran manusia. .
Pasolini kayak lagi ngetawain kita:
"Lo liat nih, manusia bisa juga keliatan elegan saat melakukan hal yang menjijikkan. Masih bangga lo pada jadi manusia?"
Aktingnya? Nggak Ada Ampun. Emosi Pol-polan
Meski kebanyakan aktor di sini bukan nama besar, tapi mereka tampil serius dengan totalitas gila-gilaan.
Empat elite tampil seperti dewa bengis nan sadis yang merasa moral itu mitos belaka..
Para pemeran remajanya, gak perlu banyak dialog tapi ekspresi mereka itu memperlihatkan trauma akut, ketakutan yang mendalam, dan harapan yang udah dilepeh dari episode pertama.
Tapi justru karena minim dialog, maka semua emosi lewat mata, gerak tubuh, dan kesunyian yang menyesakkan bisa dirasakan begitu hidupnya.. Kalo gak kuat, yang nonton bisa ngerasa mual bukan dari emosi yang dirasakan secara murni.
Salo: Film yang Dilarang, Tapi Nggak Pernah Mati
Waktu pertama tayang, film ini langsung dilarang di mana-mana.
Sensor di sana-sini, diprotes di beberapa negara dan dibanned tayang karena terlalu eksplisit.
Tapi... begitu kontroversial ini film, maka banyak yang pengen nonton.
Sekarang, Salo masuk jajaran cult classic. Disayang oleh para penggemar cinema nyentrik, dibenci oleh banyak orang waras, dan tetap diperdebatkan apakah ini seni atau sekadar sadisme berdandan.
Siapin mental, hanya buat yang kuat doang.
Kalau kamu lagi cari hiburan ringan, film ini jangan dibayangkan..
Tapi kalau kamu penasaran seberapa jauh sinema bisa menantang moral, mengguncang estetika, dan bikin kamu mempertanyakan eksistensi manusia, Salo itu bukan cuma film—ini pengalaman sinematik yang nempel di otak dan jiwa.
Endingnya gimana? Nonton aja lah ya