3.png)
Kesehatan seksual bukan cuma soal organ. Tapi juga soal rasa aman, kenyamanan, dan penerimaan. Bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diri sendiri. Sayangnya, di Indonesia, hal-hal seperti ini masih sering dibungkus dengan moral, rasa malu, atau bahkan takut.
Kami kenal dr Yogi Prasetia, sebagai pendiri Bali Medika Klinik dan melihatnya sebagai sosok yang menginspirasi dalam pelayanan kesehatan yang inklusif dan komperisif terutama dalam isu Infeksi Menular Seksual (IMS) di komunitas ragam gender.
Ketertarikan dalam isu ini muncul setelah didorong oleh seorang teman untuk ikut pelatihan MS di Jakarta. “Waktu itu saya belum paham banyak soal isu ini, tapi teman saya percaya saya bisa belajar,” kenangnya.
Dari situ, jalannya terbuka. Ia melanjutkan pendidikan di Bangkok, mengambil diploma tentang STIs dan HIV/AIDS. Ia juga sempat mengunjungi klinik-klinik yang memberikan layanan inklusif untuk komunitas queer.
“Saya lihat sendiri klinik yang bagus banget, yang layani komunitas ragam gender tanpa menghakimi. Dalam hati saya bilang: saya mau bikin kayak gini di Bali.”
Kini, lewat Bali Medika Clinic, Yogi membangun ruang aman bagi siapa pun yang ingin tahu kondisi kesehatan seksual mereka—tanpa stigma.
Dokter yang Mau Dengar
Pembicaraan tentang seks masih dianggap tabu oleh banyak orang di Indonesia. Apalagi jika ada keluhan. Banyak pasien jadi ragu terbuka karena takut dihakimi. Padahal, menurut Yogi, diagnosis sering kali bisa ditebak hanya dari percakapan, asal pasien merasa cukup aman untuk jujur.
Pengalaman Yogi beragam. Mulai dari pasien muda yang datang dengan hampir semua jenis IMS, sampai pasien yang dalam proses transisi gender dari laki-laki menjadi perempuan. Semua itu, katanya, mengajarkan bahwa menjadi dokter bukan hanya tentang memberi obat—tapi juga tentang tahu cara mendengarkan.
“Kesehatan seksual itu personal banget. Dan kalau kamu nggak bisa menciptakan ruang yang aman, kamu nggak akan dapat cerita yang utuh.”
Ramah Saja Tidak Cukup—Harus Nyaman
Bali Medika Clinic tidak secara eksplisit menargetkan komunitas LGBTQ+. Tapi justru itu yang membuat tempat ini terasa inklusif. Banyak pasien queer merasa lebih nyaman datang ke sini, karena tahu mereka tidak akan dihakimi.
“Bukan karena kami khusus buat mereka, tapi karena mereka bisa jadi diri sendiri di ruang ini.”
Uniknya, kini makin banyak perempuan cis datang ke klinik ini karena merasa lebih aman dan bebas bicara tentang tubuh serta kehidupan seksual mereka.
Yogi juga aktif berbagi edukasi lewat media sosial. Lewat sesi rutin “Tanya dr. Yogi” di Instagram Bali Medika setiap hari Rabu, orang bisa bertanya soal HIV, IMS, hingga kesehatan seksual. Informasinya dikemas ringan, tidak menggurui, tapi tetap tegas dan berbasis data.
Sehat Bukan Berarti Sempurna
Menurut Yogi, sehat itu bukan soal bebas penyakit semata. Tapi juga soal berdamai dengan tubuh, identitas, dan pengalaman hidup.
“Kalau kamu tidak nyaman dengan diri sendiri, itu saja sudah bentuk ketidaksehatan.”
Ia tahu, banyak orang datang membawa ketakutan—baik karena tekanan sosial, nilai moral, maupun trauma. Tapi di ruang praktiknya, semua itu diterima apa adanya. Termasuk saat seseorang datang dengan status HIV positif. Karena yang mereka butuhkan bukan hanya ARV, tapi juga validasi bahwa mereka tetap layak bahagia, punya hubungan, dan hidup bermakna.
Perubahan Dimulai dari yang Kecil
Ketika ditanya soal masa depan queer care di Indonesia, Yogi menyebut bahwa sistem kesehatan sudah banyak berbenah. Bahkan layanan di tingkat puskesmas pun mulai lebih terbuka terhadap komunitas kunci. Tapi, tantangan di luar sistem medis masih besar.
“Stigma sosial masih kuat. Tapi perubahan bisa dimulai dari yang kecil—cara kita menyapa, cara kita dengar, cara kita rawat.”
Karena pada akhirnya, queer care bukan sekadar layanan tambahan. Itu adalah pengakuan bahwa setiap tubuh dan pengalaman hidup berhak dirawat, tanpa syarat.