Di tengah arus film Indonesia yang banyak bermain aman, Gowok: Kamasutra Jawa muncul sebagai karya yang berani dan penuh nuansa. Banyak orang mungkin langsung berpikir ini film yang menjual sisi erotis karena ada kata “Kamasutra” di judulnya. Tapi nyatanya, film ini menyelami jauh lebih dalam—tentang perempuan, seksualitas, pendidikan pernikahan dalam budaya Jawa, dan bagaimana semua itu dibingkai dalam tradisi yang sering kali kita anggap tabu.

Siapa Itu Gowok? Cerita yang Jarang Diangkat

Diangkat dari praktik nyata yang pernah ada di budaya Jawa, gowok adalah perempuan yang bertugas membimbing calon pengantin pria sebelum menikah—baik dari sisi mental, spiritual, maupun seksual. Dalam Gowok: Kamasutra Jawa, tokoh Nyai Santi (diperankan oleh Lola Amaria) menjadi sosok pendidik ini. Ia tidak sekadar mengajarkan soal hubungan fisik, tapi juga menanamkan nilai-nilai kedewasaan, pengertian, dan kesiapan emosional.

Ini bukan kisah fiksi kosong—melainkan refleksi dari tradisi yang pernah eksis, meskipun kini dilupakan atau dianggap kontroversial. Justru di sinilah film ini punya keberanian: menghidupkan kembali percakapan tentang pendidikan seksual yang kontekstual dan berakar dari budaya kita sendiri.

Pesan yang Relevan: Seksualitas Bukan Sesuatu yang Harus Disembunyikan

Film ini memberi ruang bagi kita untuk merefleksikan: kenapa pendidikan seksual masih dianggap tabu di banyak keluarga atau komunitas kita? Padahal, ketidaktahuan justru sering berujung pada salah paham, rasa bersalah, atau hubungan yang tidak sehat. Gowok membawa isu ini ke permukaan tanpa menggurui. Lewat pendekatan budaya, film ini menyampaikan bahwa seksualitas itu bagian dari kehidupan yang bisa dibahas dengan bijak, penuh rasa hormat, dan tidak selalu harus vulgar.

Realitas yang Masih Terjadi: Perempuan, Tubuh, dan Kekuasaan

Di balik kisah Nyai Santi, kita bisa melihat refleksi perempuan dalam sistem yang sering kali tidak memberdayakan. Perempuan yang “berpengetahuan” soal seks sering kali distigma. Padahal, justru dari perempuanlah banyak pembelajaran emosional dan spiritual tentang cinta, hubungan, dan tubuh bisa dimulai. Film ini mengajak kita untuk melihat ulang posisi perempuan bukan sebagai objek pasif, tapi sebagai sumber pengetahuan, pembimbing, dan pemilik narasi.

Bukan Sekadar Tayang di Luar Negeri—Tapi Suara yang Diangkat

Masuknya Gowok: Kamasutra Jawa ke kompetisi utama Festival Film Rotterdam bukan hanya soal prestise internasional. Ini juga pertanda bahwa dunia mulai melihat pentingnya cerita-cerita lokal, berakar budaya, yang menyentuh isu global: seksualitas, perempuan, relasi kekuasaan. Dunia mungkin melihat film ini sebagai eksotisme budaya, tapi kita—sebagai bagian dari cerita ini—perlu menontonnya sebagai refleksi.

Kesimpulan 

Gowok: Kamasutra Jawa bukan film yang “cocok ditonton bareng keluarga besar”, mungkin. Tapi ini adalah film yang penting ditonton sebagai individu yang ingin lebih mengenal sejarah, seksualitas, dan bagaimana budaya kita sendiri pernah punya cara unik dan penuh makna untuk membicarakannya. Di tengah dunia yang serba cepat dan permisif, film ini mengajak kita untuk pelan-pelan... belajar lagi tentang cinta, tubuh, dan warisan yang selama ini kita pendam dalam diam.

 

BACA YANG LAIN