Dulu, hubungan monogami adalah standar emas percintaan. Tapi sekarang, makin banyak pasangan yang mulai melirik pola open relationship alias hubungan terbuka baik itu sekadar ngobrol, saling flirting, atau bahkan seks dengan orang lain… dengan izin pasangannya sendiri.

Buat sebagian orang, ini terasa seperti bentuk cinta yang bebas, jujur, dan dewasa. Tapi buat yang lain, kedengarannya kayak mengundang drama baru. Jadi sebenarnya, open relationship itu solusi atau jebakan?

Apa Itu Open Relationship?

Secara sederhana, open relationship adalah hubungan romantis di mana kedua pihak setuju untuk menjalin relasi—biasanya seksual—dengan orang lain, tanpa harus mengakhiri komitmen utama mereka.

Ini berbeda dengan selingkuh. Karena kuncinya adalah: sama-sama tahu dan setuju.

Model ini bisa sangat fleksibel:

  • Ada yang hanya membolehkan seks, tapi tanpa ikatan emosional

  • Ada yang membolehkan pacaran paralel

  • Ada juga yang punya aturan super ketat: harus tahu siapa, kapan, dan ngapain aja

Setiap pasangan bisa punya rules sendiri, tergantung seberapa nyaman dan terbukanya komunikasi mereka.

Kenapa Banyak yang Coba Open Relationship?

  1. Kebutuhan seksual berbeda:
    Gairah seksual bisa berubah, entah karena usia, kondisi mental, atau preferensi. Kadang salah satu merasa butuh variasi, tapi tetap sayang sama pasangan utama.

  2. Ingin eksplorasi tapi tetap punya koneksi:
    Beberapa orang merasa bisa mengeksplor sisi seksualitasnya tanpa harus kehilangan stabilitas emosional yang udah dibangun.

  3. Ketertarikan pada konsep hubungan non-monogami:
    Ada juga yang memang dari awal merasa bahwa monogami bukan untuk semua orang. Sebuah studi dari Kinsey Institute menyebutkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang dewasa Amerika pernah mencoba hubungan non-monogami secara konsensual 

Tapi... Risikonya Gak Sedikit

Meski kelihatannya seru dan bebas, open relationship juga punya tantangan yang gak main-main:

  • Kecemburuan:
    Rasa posesif itu manusiawi. Meskipun sepakat di awal, gak sedikit yang akhirnya kesulitan mengelola rasa cemburu, bahkan insecure.

  • Komunikasi ekstra:
    Open relationship bukan buat orang yang malas ngobrol. Dibutuhkan komunikasi yang jujur, rutin, dan sangat terbuka. Kalau gak, potensi konflik makin besar.

  • Ketimpangan emosional:
    Kadang yang satu enjoy, yang satu justru makin tersiksa. Nggak jarang hubungan ini malah mempercepat perpisahan.

Menurut studi yang dimuat di Journal of Social and Personal Relationships, keberhasilan open relationship sangat bergantung pada kualitas komunikasi, rasa saling percaya, dan kesepakatan yang konsisten.

Apakah Ini Cocok Buat Kamu dan Pasangan?

Sebelum memutuskan, coba refleksi dulu:

  • Apa kamu dan pasangan udah punya komunikasi yang kuat?

  • Apa kamu bisa membedakan seks dan emosi?

  • Apa kamu siap menghadapi potensi luka emosional?

  • Apa ada rasa penasaran, atau justru tekanan dari satu pihak?

Kalau salah satu jawabannya bikin kamu ragu, bisa jadi open relationship bukan jalannya. Dan itu gak masalah.

Kesimpulan

Open relationship bukan tiket bebas buat jajan seenaknya. Justru, ini butuh kedewasaan ekstra dalam komunikasi, pengendalian emosi, dan respect terhadap pasangan.

Kalau dilakukan dengan sehat dan saling setuju, bisa jadi ini bentuk hubungan yang relevan di era modern. Tapi kalau dijalani setengah hati, ya siap-siap patah hati. Cinta itu bisa dibagi, tapi rasa aman dan kejujuran tetap harus jadi fondasi.